TAK
CUKUP HANYA PINDAH CHANEL ATAU MATIKAN
TELEVISI
Iwan
Awaluddin Yusuf[
Dalam diskusi menyikapi buruknya
tayangan televisi, tidak serta merta kita menyederhanakan masalah dengan
mengatakan: “Kalau tidak suka tinggal pindah channel saja”, atau “Matikan saja
tivinya, selesai…Kok repot-repot!”. Persoalanya tentu bukan bagaimana
kekuasaan penonton dalam menentukan atau menolak tayangan itu, melainkan hak
dan kewajiban pengelola televisi yang menggunakan spektrum frekuensi milik
publik (khususnya bagi stasiun televisi dengan sistem free to air-bukan
berlangganan dengan sistem kabel). Logika sederhana argumen tersebut
seolah-olah menempatkan tidak bolehnya orang membuat polusi udara di sebuah
lingkungan dan kita ingin mengatakan: “Pindah saja dari sana. Gitu saja kok
repot”.
Televisi swasta di Indonesia adalah
media yang menggunakan public domain[2], regulasinya
sangat berbeda dengan media yang tidak menggunakan public domain
(misalnya, buku, majalah, suratkabar, dan film-kecuali jika disiarkan melalui
televisi). Di negara demokrasi manapun, jika suatu media menggunakan public
domain, maka regulasinya sangat ketat. Ini karena ketika seseorang atau
suatu badan telah diberi izin mengelola frekuensi (yang notabene sangat
terbatas), maka sebenarnya ia telah diberi hak monopoli oleh negara untuk
menggunakan frekuensi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian,
berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, yaitu
peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran.
Dalam kaitan ini, regulasi terhadap
radio dan televisi berlangsung sangat ketat. Di Amerika Serikat misalnya,
regulatornya adalah “Federal Communications Commission” (FCC). Sementara itu di
Afrika Selatan regulatornya adalah “Independent Communication Authority of
South Africa” (ICASA), dan banyak lagi lembaga semacam itu di negara demokrasi
di dunia. Regulator di negara-negara demokrasi ini adalah badan independen
negara yang bersifat “quasi judicial”. Untuk Indonesia, regulatornya
adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berhubungan dengan isi, dan
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo),
yang berhubungan dengan penggunaan frekuensi dan pemberian izin penyiaran.
Secara filosofis, ada beberapa
alasan penting mengapa media yang menggunakan public domain regulasinya
berbeda dengan media yang tidak menggunakan public domain.[3] Pertama, alasan utama jelas
karena media tersebut menggunakan public domain, barang publik. Oleh
karenanya, harus diatur secara ketat. Frekuensi adalah milik publik yang
dipinjam sementara oleh lembaga penyiaran yang harus dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dengan kata lain,
pengaturan tersebut ditujukan untuk kemanfaatan publik yang luas, bukan hanya
perorangan atau kelompok.
Kedua, public domain mengandung
prinsip scarcity (scarcity theory). Scarcity theory ini menegaskan
bahwa frekuensi yang berasal dari spektrum gelombang radio itu adalah ranah
publik yang terbatas. Permintaan frekuensi jauh lebih banyak dari yang
tersedia. Meskipun teknologi maju mampu membuat frekuensi dimanfaatkan lebih
banyak saluran siaran, tapi ia tetap terbatas, apalagi di Indonesia sekarang
ini teknologi maju tersebut belum dipergunakan secara meluas. Itulah juga
sebabnya izin frekuensi untuk penyiaran itu mempunyai masa waktu yang terbatas,
dapat 10 atau 15 tahun, meskipun dapat diperpanjang. Dalam pengaturan spektrum
frekuensi yang terbatas tersebut dibutuhkan wasit yang adil dan demokratis
untuk menjamin tersedia, terdistribusikan dan terawasinya ranah publik
tersebut.
Ketiga, sifatnya yang pervasif (pervasive
presence theory). Pervasive presence theory menjelaskan bahwa
program siaran media elektronik memasuki ruang pribadi, meluas dan tersebar
secara cepat ke ruang-ruang keluarga tanpa diundang. Ketika seseorang membaca
koran, misalnya, maka kontrol atas apa yang dibaca dan dimana membacanya akan
sangat tergantung pada si pembaca. Namun, media-media yang menggunakan public
domain karena sifatnya yang pervasif, muatan isi media hampir tidak bisa
kita kontrol oleh siapapun. Media ini juga bisa hadir dimana-mana dalam ruang
dan waktu yang tidak terbatas. Oleh karena itulah, perlu ada regulasi untuk
media-media yang menggunakan public domain, logika ini senada dengan
udara yang tercemar polutan apda ilustrasi awal tulisan ini.
Di sisi lain, media penyiaran
dikontrol ketat pada dua wilayah dan alasan.[4] (1) wilayah isi dikontrol karena ada alasan politik dan
budaya (political and moral/cultural reasons). (2) wilayah
infrastruktur, terutama frekuensi dikontrol karena alasan ekonomi dan teknologi
(technical and economic reasons). Berpijak pada pemikiran ini maka
regulasi idealnya harus mencakup tiga prinsip; yaitu: pertama,
memastikan bebasnya gangguan interferensi antarfrekuensi; kedua,
memastikan terjadinya pluralitas politik dan budaya dalam isi siaran; dan ketiga
menyediakan masyarakat apa yang mereka butuhkan dalam dunia penyiaran yang
menganut sistem ”pasar bebas terbatas”.
Bagaimanakah sistem penyiaran yang
demokratis? Sistem penyiaran demokratis bercirikan perlindungan kepentingan
publik, pluralitas, dan kompetisi yang setara antar sesama institusi penyiaran.
Sistem penyiaran yang fungsional bagi proses demokratisasi adalah yang mampu
menciptakan public sphere. Dari sini filosofi keragaman kepemilikan (diversity
of ownership) dan keragaman isi (diversity of content) yang populer
dalam studi mengenai media penyiaran berakar. Bila tidak, akan terjadi monopoli
informasi dan monopoli media yang memunculkan otoritarianisme baru oleh modal
dan segelintir orang, yang pada gilirannya akan memasung demokrasi.[5]
Media seseunggguhnya merupakan
bagian dari ruang publik (public sphere) yang memungkinkan terjadinya
pertukaran informasi dan pandangan yang berkait dengan kepentingan orang banyak
sehingga dapat menyuarakan opini publik. Ruang publik akan terjadi ketika warga
masyarakat menggunakan haknya untuk berkumpul atau mengeluarkan pendapatnya
yang mereka anggap penting. Sebuah ruang publik semestinya dijaga dari berbagai
pengaruh dan kepentingan. Dalam konteks public sphere, media selayaknya
menjadi the market places of ideas, tempat penawaran berbagai gagasan.
Lebih lanjut, keberadaan lembaga penyiaran publik di banyak negara dipercaya
mampu membangun democratic culture. Potensi demikian dapat terwujud jika
media penyiaran dikelola dengan memberikan ruang untuk kebebasan berekspresi,
debat terbuka, peluang akses yang adil serta menjadi arena negosiasi
bagi publiknya.][6]
FOOT NOTE
[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti
di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan
Regulator Media (PR2MEDIA)Yogyakarta.
[2] Istilah
public domain sering disebut basic state property, essential facility,
atau limited resources.
[3] Dominick, Joseph R., Fritz Messere, dan Barry L Sherman, Broadcasting,
Cable, the Internet, and Beyond 5th Edition (Boston: McGraw
Hill, 2004), hal. 230.
[4] Masduki, ”Kontroversi Regulasi Penyiaran di Indonesia”. Jurnal
Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Volume 1, Nomor 1, (Oktober 2006),
hal. 55.
[5] Amir
Effendi Siregar dalam pengantar buku Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah
Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Iwan Awaluddin Yusuf.,
et.al., (Yogyakarta: Pr2Media dan FES, 2010), hal xiii-xiv.
[6] Peter Golding dan Graham Murdock , sebagaimana dikutip
James Curran, Michael Gurevitch, dan Janer Woollacott (eds.). Mass
Media and Society (London: Edward Arnold, 1997), hal. 95.
“Komentar saya Penyalahgunaan frekuensi
publik ini dalam
praktik penyiaran di Indonesia terlihat dengan banyaknya permasalahan
yang
muncul berkaitan dengan pelanggaran isi siaran. Dalam sistem penyiaran
yang
demokratis, isi siaran harus didasarkan demi kepentingan publik, bukan
semata-mata kepentingan pribadi dalam urusan bisnis atau politik. Ide
dasar
seperti ini muncul dari kesadaran bersama bahwa lembaga penyiaran
merupakan
media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan
sosial,
budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggungjawab dalam
menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,
serta
kontrol dan perekat sosial. Pada sisi lain, siaran yang dipancarkan dan
diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang
besar
dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak