Pages

Selasa, 03 Januari 2012

berbagi sedikit tugas kuliah

TAK CUKUP HANYA  PINDAH CHANEL ATAU MATIKAN TELEVISI

Iwan Awaluddin Yusuf[
Dalam diskusi menyikapi buruknya tayangan televisi, tidak serta merta kita  menyederhanakan masalah dengan mengatakan: “Kalau tidak suka tinggal pindah channel saja”, atau “Matikan saja tivinya, selesai…Kok repot-repot!”.  Persoalanya tentu bukan bagaimana kekuasaan penonton dalam menentukan atau menolak tayangan itu, melainkan hak dan kewajiban pengelola televisi yang menggunakan spektrum frekuensi milik publik (khususnya bagi stasiun televisi dengan sistem free to air-bukan berlangganan dengan sistem kabel). Logika sederhana argumen tersebut seolah-olah menempatkan tidak bolehnya orang membuat polusi udara di sebuah lingkungan dan kita ingin mengatakan: “Pindah saja dari sana. Gitu saja kok repot”.
Televisi swasta di Indonesia adalah media yang menggunakan public domain[2], regulasinya sangat berbeda dengan media yang tidak menggunakan public domain (misalnya, buku, majalah, suratkabar, dan film-kecuali jika disiarkan melalui televisi). Di negara demokrasi manapun, jika suatu media menggunakan public domain, maka regulasinya sangat ketat. Ini karena ketika seseorang atau suatu badan telah diberi izin mengelola frekuensi (yang notabene sangat terbatas), maka sebenarnya ia telah diberi hak monopoli oleh negara untuk menggunakan frekuensi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran.
Dalam kaitan ini, regulasi terhadap radio dan televisi berlangsung sangat ketat. Di Amerika Serikat misalnya, regulatornya adalah “Federal Communications Commission” (FCC). Sementara itu di Afrika Selatan regulatornya adalah “Independent Communication Authority of South Africa” (ICASA), dan banyak lagi lembaga semacam itu di negara demokrasi di dunia. Regulator di negara-negara demokrasi ini adalah badan independen negara yang bersifat “quasi judicial”. Untuk Indonesia, regulatornya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berhubungan dengan isi, dan Pemerintah, dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), yang berhubungan dengan penggunaan frekuensi dan pemberian izin penyiaran.
Secara filosofis, ada beberapa alasan penting mengapa media yang menggunakan public domain regulasinya berbeda dengan media yang tidak menggunakan public domain.[3] Pertama, alasan utama jelas karena media tersebut menggunakan public domain, barang publik. Oleh karenanya, harus diatur secara ketat. Frekuensi adalah milik publik yang dipinjam sementara oleh lembaga penyiaran yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, pengaturan tersebut ditujukan untuk kemanfaatan publik yang luas, bukan hanya perorangan atau kelompok.
Kedua, public domain mengandung prinsip scarcity (scarcity theory). Scarcity theory ini menegaskan bahwa frekuensi yang berasal dari spektrum gelombang radio itu adalah ranah publik yang terbatas. Permintaan frekuensi jauh lebih banyak dari yang tersedia. Meskipun teknologi maju mampu membuat frekuensi dimanfaatkan lebih banyak saluran siaran, tapi ia tetap terbatas, apalagi di Indonesia sekarang ini teknologi maju tersebut belum dipergunakan secara meluas. Itulah juga sebabnya izin frekuensi untuk penyiaran itu mempunyai masa waktu yang terbatas, dapat 10 atau 15 tahun, meskipun dapat diperpanjang. Dalam pengaturan spektrum frekuensi yang terbatas tersebut dibutuhkan wasit yang adil dan demokratis untuk menjamin tersedia, terdistribusikan dan terawasinya ranah publik tersebut.
Ketiga, sifatnya yang pervasif (pervasive presence theory). Pervasive presence theory menjelaskan bahwa program siaran media elektronik memasuki ruang pribadi, meluas dan tersebar secara cepat ke ruang-ruang keluarga tanpa diundang. Ketika seseorang membaca koran, misalnya, maka kontrol atas apa yang dibaca dan dimana membacanya akan sangat tergantung pada si pembaca. Namun, media-media yang menggunakan public domain karena sifatnya yang pervasif, muatan isi media hampir tidak bisa kita kontrol oleh siapapun. Media ini juga bisa hadir dimana-mana dalam ruang dan waktu yang tidak terbatas. Oleh karena itulah, perlu ada regulasi untuk media-media yang menggunakan public domain, logika ini senada dengan udara yang tercemar polutan apda ilustrasi awal tulisan ini.
Di sisi lain, media penyiaran dikontrol ketat pada dua wilayah dan alasan.[4] (1) wilayah isi dikontrol karena ada alasan politik dan budaya (political and moral/cultural reasons). (2) wilayah infrastruktur, terutama frekuensi dikontrol karena alasan ekonomi dan teknologi (technical and economic reasons). Berpijak pada pemikiran ini maka regulasi idealnya harus mencakup tiga prinsip; yaitu: pertama, memastikan bebasnya gangguan interferensi antarfrekuensi; kedua, memastikan terjadinya pluralitas politik dan budaya dalam isi siaran; dan ketiga menyediakan masyarakat apa yang mereka butuhkan dalam dunia penyiaran yang menganut sistem ”pasar bebas terbatas”.
Bagaimanakah sistem penyiaran yang demokratis? Sistem penyiaran demokratis bercirikan perlindungan kepentingan publik, pluralitas, dan kompetisi yang setara antar sesama institusi penyiaran. Sistem penyiaran yang fungsional bagi proses demokratisasi adalah yang mampu menciptakan public sphere. Dari sini filosofi keragaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keragaman isi (diversity of content) yang populer dalam studi mengenai media penyiaran berakar. Bila tidak, akan terjadi monopoli informasi dan monopoli media yang memunculkan otoritarianisme baru oleh modal dan segelintir orang, yang pada gilirannya akan memasung demokrasi.[5]
Media seseunggguhnya merupakan bagian dari ruang publik (public sphere) yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi dan pandangan yang berkait dengan kepentingan orang banyak sehingga dapat menyuarakan opini publik. Ruang publik akan terjadi ketika warga masyarakat menggunakan haknya untuk berkumpul atau mengeluarkan pendapatnya yang mereka anggap penting. Sebuah ruang publik semestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepentingan. Dalam konteks public sphere, media selayaknya menjadi the market places of ideas, tempat penawaran berbagai gagasan. Lebih lanjut, keberadaan lembaga penyiaran publik di banyak negara dipercaya mampu membangun democratic culture. Potensi demikian dapat terwujud jika media penyiaran dikelola dengan memberikan ruang untuk kebebasan berekspresi, debat terbuka, peluang akses yang adil serta menjadi arena negosiasi bagi publiknya.][6]






FOOT NOTE


[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)Yogyakarta.
[2] Istilah public domain sering disebut basic state property, essential facility, atau limited resources.
[3] Dominick, Joseph R., Fritz Messere, dan Barry L Sherman, Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond 5th Edition (Boston: McGraw Hill, 2004), hal. 230.
[4] Masduki, ”Kontroversi Regulasi Penyiaran di Indonesia”. Jurnal Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Volume 1, Nomor 1, (Oktober 2006), hal. 55.
[5] Amir Effendi Siregar dalam pengantar buku Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Iwan Awaluddin Yusuf., et.al., (Yogyakarta: Pr2Media dan FES, 2010), hal xiii-xiv.
[6] Peter Golding dan Graham Murdock , sebagaimana dikutip James Curran, Michael Gurevitch, dan Janer Woollacott (eds.). Mass Media and Society (London: Edward Arnold,  1997), hal. 95.




 “Komentar saya Penyalahgunaan frekuensi publik ini dalam praktik penyiaran di Indonesia terlihat dengan banyaknya permasalahan yang muncul berkaitan dengan pelanggaran isi siaran. Dalam sistem penyiaran yang demokratis, isi siaran harus didasarkan demi kepentingan publik, bukan semata-mata kepentingan pribadi dalam urusan bisnis atau politik. Ide dasar seperti ini muncul dari kesadaran bersama bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial. Pada sisi lain, siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak

jeprat-jepret

theme: siluet
talent: abdurahman
iso: 200
shutter speed: bulb
nikon D90

ceritanya pas pulang ke rumah langsung masuk ke kamar nyokoap terus jeprat jepret pake si nikon, dan inilah hasilnya :)

iseng-iseng foto motor temen hehe

coba-coba macro pake lensa standar lumayan juga
rumah singgah dikala pulang sekolah dulu hehe

view: gunung salak jawa barat
iso: 200
shutter speed: bulb
nikon D90


tahun baru @puncak nice moment with my old friends :)

happy new year 2012...






Senin, 31 Oktober 2011

about us



SILENT -__-"

kenangan



yang sebelah gw namanya mamet anaknya ceu nyai haha

buka bersama ramadhan 2011




sebelah kanan gw namanya Ani, yang sebelah kiri namanya denti,
mereka temen gw waktu SMA dulu, gw masih inget waktu SMA dulu si Ani dapet julukan "miss dollar"
dari anak sekelas, karena kerewelan dia kalo udah mintain uang kas kelas...

ani - arya - iden

ani - arya - iden

ani - arya - iden

dulu kita dikenal dengan sebutan D'macho mungkin
nama tersebut akan menjadi suatu cerita dikala kita bertemu
kembali di kelak nanti

pertama punya temen di bandung langsung gw foto di depan kampus




Selasa, 11 Oktober 2011

cerita pendek dan inspirasi untuk pembuatan vidio klip ROCKET ROCKERS-DIA


ROCKET ROCK SHOW
Suatu masa, di sudut ruang kelas tak bercahaya, terdapat dua insan yang bernama Amar dan Dian. Meraka adalah pasangan setia seperti sang merpati yang tak ingkar dalam satu janji, dan berkhianat ke lain hati.
Disela-sela waktu belajar, merekapun saling mencuri-curi pandang satu sama lainnya.
Amar… Dian… kalianlah pasangan yang selalu membuat iri orang lain dengan percikan kata mesra dengan banyak sentuhan rasa cinta diantara kalian…
Setiap detik, menit, jam, hari, kalian arungi badai yang akan menghalau laju dari kisah cinta kalian, tak ada cemburu, yang ada hanya rindu, tak ada curiga yang ada hanya cinta…
Cat air, beserta kanvas pun sudah tidak sanggup lagi untuk melukiskan seberapa banyak nan indah kenangan yang telah kalian lewati bersama…
Sering orang bilang, kalian lah kaula muda yang sedang dilanda cinta monyet dan asmara palsu…
Tetapi kata “cinta sejati tak kenal siapa” telah menguatkan rusuk cinta kalian untuk menyangkal pernyataan yang telah di hujamkan orang lain kepada kalian…
Hingga tiba saatnya pelepasan dan wisuda yang sudah menjadi tradisi setiap tahun ajaran baru sekolah akan datang. Sebelumnya…. Ya… corat-coret baju sekolah tentunya, yang menjadi tradisi kedua setiap siswa yang telah berhasil melewati detik-detik terakhir di bangku sekolah…
Selagi kalian (Amar dan Dian) saling mencoret-coret seragam yang dikenakan kalian, kalian juga saling mengukir nama kalian di sebuah pohon besar dengan dilingkari lambing hati tertusuk panah, dan janji setia yang mungkin menjadi kata indah yang terakhir…
Air mata pun tidak cukup untuk menggambarkan ketidak inginan kalian untuk berpisah karena setelah perpisahan ini, Dian akan pergi keluar kota dan hidup bersama ayah nya yang kebetulan juga mempunyai pekerjaan di luar kota… dan Dian beserta keluarganya telah sepakat untuk pindah rumah ke luar  kota setelah Dian lulus SMA, dan sekarang lah waktunya…
Hingga tiba waktunya perpisahan itu benar terjadi, tanpa sepengetahuan dari Amar, Dian bersama keluarganya telah meninggalkan kota yang mereka tinggali dulu.
Rasa kecewa pun sempat terlintas dari hati Amar yang telah di tinggalkan seorang kekasih yang dulu ia dambakan.
Satu bulan terlewati, dan tiba dimana Dian mengirimkan sebuah surat untuk Amar. Dengan penuh rasa rindu, Dian mengungkapkan kesedihan karena kerinduan nya kepada Amar di dalam surat itu. Amar pun membacanya dengan hati yang bimbang, serasa ingin menyusulnya ke kota yang sekarang Dian tinggali. Sayangnya itu semua hanya menyisakan khayalan semata untuk dirinya (Amar).
Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, tiga bulanpun terlewati oleh Amar yang masih dan selalu mendambakan sosok bidadari kecil seperti Dian kekasihnya. Dalam tiga bulan terpisahnya Amar beserta Dian mereka tiada hentinya saling mengirim dan membalas surat yang mewakili perasaan mereka.
Tak terasa enam bulan pun terlewati, tak seperti biasanya, mereka saling mengirimkan surat, dalam tiga bulan terakhir ini, mereka lost contact, Amar, yang tak pernah lelah mengirimkan surat kepadanya (Dian) pun selalu menyisakan tanda tanya besar, kenapa setelah tiga bulan terakhir ini surat yang ia kirim tak pernah mendapat jawaban seperti biasanya. Amar pun mencoba untuk mengerti meski rasa curiga terus menghampirinya. Hingga suatu saatpun tiba, tepatnya setelah tiga bulan lamanya Dian tidak membalas surat dari Amar kekasihnya, 
dimana Dian mengirimkan surat kepada Amar, yang berisi bahwa Dian akan menikah seminggu yang akan dating, bersama lelaki pilihan ayahnya. Amarpun tersentak kaget dan tidak percaya wanita yang selama ini dia puja dan ia nanti kedatangannya kembali, tega melakukan hal seperti itu kepadanya. Rasa kecewa pun mulai menyelimuti diri amar, air mata, bimbang, dan kecewa yang sekarang menghantui diri Amar yang telah amat sangat kecewa kepada Dian yang dulu menjadi bidadari kecil di hatinya.
Suatu hari, Amar menuliskan sebuah puisi untuk dirinya sendiri, yang dimana puisi itu berisi tentang betapa merasa kehilangannya Amar kepada bidadari kecilnya Dian, dan puisi itu pun berjudul “DIA”…
Dan setelah Amar menuliskan puisinya di atas sebuah kertas, setelah itu, Amarpun memasukkan kertas yang berisi puisi tersebut kedalam sebuah botol, dan dia meghanyutkannya ke sebuah aliran sungai yang tidak jauh dari rumah nya, dengan niat, ingin melupakan bidadari kecilnya yang telah pergi dan lebih memilih bersama orang lain.



DIA
TAK PERNAH ADA JALAN KELUAR DISAAT KITA BERBEDA PENDAPAT…
JALAN UNTUKKU TEMUI DAN KINI DIA PUN PERGI MENGHILANG…
 DISAAT AKU AKAN MENCOBA UNTUK LEBIH SALING MENGERTI…
 TAKKAN ADA YANG LAINNYA…
 TAKKAN MUNGKIN TERGANTIKAN…
 TAKKAN ADA YANG SEPERTINYA…
DIA T’LAH BERUBAH, TAK SEPERTI DULU, MENEMANIKU DAN TAK ADA LAGI, SENYUMNYA…
TAK PERNAH ADA JALAN KELUAR DISAAT KITA AKAN MENCOBA UNTUK LEBIH SALING MENGERTI…
TAKKAN ADA YANG LAINNYA, TAKKAN MUNGKIN TERGANTIKAN, TAKKAN ADA, YANG SEPERTINYA…
DAN DIA T’LAH BERUBAH TAK SEPERTI DULU, MENEMANIKU DAN TAK ADA LAGI SENYUMNYA…
DIA TLAH BERUBAH TAK SEPERTI DULU MENEMANIKU DAN TAK ADA LAGI CANDANYA….
TAKKAN ADA YANG LAINNYA…
TAKKAN MUNGKIN TERGANTIKAN….
TAKKAN ADA YANG SEPERTINYA…

Salam rindu ;
Amar Ramadhan, Bandung 07 juni 2005